Total Tayangan Halaman

Minggu, 17 April 2011

Hukum Perdata

Perkataan "Hukum Perdata" dalam arti yang luas meliputi semua hukum "privat materiil", yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan"perdata" juga lazim dipakai sebagai lawan dari "pidana". Ada juga orang memakai perkataan "hukum sipil" untuk
hukum privat materiil itu, tetapi karena perkataan "sipil" itu juga lazim dipakai sebagai lawan dari "militer," maka lebih baik kita memakai istilah "hukum perdata" untuk segenap peraturan hukum privat materiil.
Perkataan "Hukum Perdata", adakalanya dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan "hukum dagang," seperti dalam pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara, yang menitahkanpembukuan (kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap HukumPerdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun HukumPidana Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan susunan serta kekuasaan pengadilan.
Hukum Perdata di Indonesia, ber-bhinneka yaitu beranekawarna.
Pertama, ia berlainan untuk segala golongan warga negara:
a. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku "Hukum Adat," yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
b. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal Tionghoa dan Eropah berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada sedikit penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai "penahanan" pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula "Burgerlijke Stand" tersendiri.
Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek.
Akhirnya untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal Tionghoa atau Eropah (yaitu : Arab, India dan lain-lain) berlaku sebahagian dari Burgerlijk Wetboek, yaitu pada pokoknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaan harta benda
vermogensrecht), jadi tidak yang mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan (personen en familierecht) maupun yang mengenai hukum warisan. Mengenai bagian-bagian hukum yang belakangan ini, berlaku hukum mereka sendiri dari negeri asalnya. Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia asli sendiripun ada ber-bhinneka lagi, yaitu berbeda-beda dari daerah kedaerah.
Untuk mengerti keadaan Hukum Perdata di Indonesia sekarang ini, perlulah kita sekedar mengetahui tentang riwayat politikPemerintah Hindia-Belanda dahulu terhadap hukum di Indonesia.
Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia-Belanda terhadaphukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 "Indische Staats-regeling" (sebelum itu pasal 75 Regeringsreglement), yang dalampokoknya sebagai berikut :
1.Hukum Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu dikodifisir.
2.Untuk golongan bangsa Eropah dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asaskonkordansi).
3.Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab dan sebagainya), jika ternyata "kebutuhan
kem^-yarakatan" mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropah dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka,dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta olehkepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
4.Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah, diperbolehkan "menundukkan diri" ("onderwerpen") pada hukum yangberlaku untuk bangsa Eropah. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
5.Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu "Hukum Adat" (ayat 6).
Berdasarkan pedoman-pedoman yang kita sebutkandi atas, di zaman Hindia-Belanda telah ada beberapa peraturan undang-undang Eropah yang telah "dinyatakan berlaku" untuk Bangsa Indonesia asli, seperti pasal 1601 — 1603 lama dari B.W., yaitu perihal perjanjian kerja atau perburuhan (Staatsblad 1879 No. 256), pasal 1788 —1791 B.W. perihal hutang-hutang dari perjudian (Staatsblad 1907 No. 306) dan beberapa pasal dari Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu sebagian besar dari Hukum Laut (Staatsblad 1933 No. 49). Selanjutnya, ada beberapa peraturan yang secara
khusus dibuat untuk bangsa Indonesia, seperti : Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen(Staatsblad 1933 No. 74), Ordonansi tentang Maskapai
Andil Indonesia atau I.M.A. (Staatsblad 1939 No. 569berhubung dengan No. 717) dan Ordonansi tentang Perkumpulan bangsa Indonesia (Staatsblad 1939 No. 570 berhubung dengan No. 717).
Akhirnya, ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, misalnya, Undang-Undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun
1912), Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad1933 No. 108), Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 No.523), dan Ordonansi tentang Pengangkutan di Udara(Staatsblad 1938 No. 98).
Perihal kemungkinan untuk menundukkan diri padaHukum
r
Eropah telah diatur lebih lanjut di dalam Staatsblad 1917 No.12.
Peraturan ini mengenal empat macam penundukan,yaitu :
a. Penundukan pada seluruh Hukum PerdataEropah;
b. Penundukan pada sebagian Hukum Perdata Eropah, yang dimaksudkan hanya pada hukum kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang telah dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa;
d. Penundukan secara "diam-diam", menurut pasal 29 yang berbunyi : "Jjfea seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal di dalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropah".
Menurut riwayatnya, pasal 29 tersebut ini ditujukan kepadaseorang bangsa Indonesia yang menandatangani surat aksep atau wesel.
Riwayat perundang-undangan dalam lapangan Hukum Perdata untuk golongan Timur Asing, sebagai berikut :
Mula-mula dengan peraturan yang termuat di dalam Staatsblad 1855 No. 79 Hukum Perdata Eropah (B.W. dan W.v.K.) dengan kekecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan, dinyatakan berlaku untuk semua orang Timur Asing.
Kemudian, dalam tahun 1917, mulailah diadakan pembedaan antara golongan Tionghoa dan yang bukan Tionghoa, karena untuk golongan Tionghoa dianggapnya hukum Eropah yang sudah diperlakukan terhadap mereka itu dapat diperluas lagi.

Untuk golongan Tionghoa itu lalu diadakan suatu peraturan tersendiri mengenai Hukum Perdata mereka, yaitu peraturan yang diletakkan dalam Staatsblad tahun 1917 No. 129 (berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 1 September 1925). Menurut peraturan ini sekarang berlaku bagi bangsa Tionghoa : seluruh hukum privat Eropah terkecuali pasal-pasal yang mengenai Burgerlijke Stand, upacara-upacara sebelum berlangsung pernikahan (bagian 2 dan 3 dari Titel 4 Buku I B.W.) dan bagi orang Tionghoa diadakan suatu Burgerlijke Stand tersendiri serta suatu peraturan tersendiri pula tentang pengangkatan anak (adopsi), yaitu dalam bagian II Staatsblad tahun 1917 No. 129 tersebut.
Bagi golongan Timur Asing lain-lainnya (Arab, India dan sebagainya) kemudian juga diadakan suatu peraturan tersendiri, dalam Ordonansi yang termuat dalam Staatsblad tahun 1924 No. 556 (mulai berlaku sejak tanggal 1 Maret 1925), menurut peraturan tersebut pada pokoknya bagi mereka itu berlaku hukum privat Eropah dengan kekecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan, sehingga mereka itu untuk bagian-bagian hukum yang belakangan ini tetap tunduk pada hukum asli mereka sendiri. Tetapi bagian yang mengenai pembuatan surat wasiat (testament), berlaku untuk mereka. Dalam hubungan ini perlu kiranya diterangkan, ketika dalam tahun 1926 dalam B.W. dimasukkan suatu peraturan baru mengenai perjanjian perburuhan (arbeidscontract), peraturan baru ini tidak dinyatakan berlaku lagi bagi lain golongan selainnya golongan bangsa Eropah, sehingga bangsa Indonesia dan Timur Asing masih tetap tunduk di bawah peraturan yang lama, yaitu pasal-pasal 1601 sampai dengan 1603 B.W.
Oleh karena Undang-undang Dasar kita tidak mengenal adanya golongan-golongan warga negara, adanya hukum yang berlainan untuk berbagai golongan itu dianggap janggal. Kita sedang berusaha untuk membentuk suatu kodifikasi Hukum Nasional. Sementara belum tercapai, B.W. dan W.v.K. masih berlaku, tetapi dengan ketentuan bahwa Hakim (Pengadilan) dapat menganggap suatu pasal tidak berlaku lagi jika dianggapnya bertentangan dengan keadaan jaman kemerdekaan sekarang ini. Dikatakan bahwa B.W. dan W.v.K. itu tidak lagi merupakan suatu "Wetboek" tetapi suatu "rechtsboek."



-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar