BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Hukum
Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa
bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia.
Jean-Jacques
Rousseau memberikan inpirasi bagi perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia
bilang bahwa tujuan perang untuk menghancurkan negara musuh adalah sah secara
hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh
mereka membawa senjata; tetapi segera setelah mereka meletakkan senjata dan menyerah,
mereka bukan lagi musuh atau agen musuh, kini mereka kembali menjadi orang
biasa, dan tidak lagi sah secara hukum untuk mengambil
hidup mereka.Para perancang Deklarasi St. Petersburg memformulasikan prinsip-prinsip pembedaan, prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu dan prinsip kepentingan kemanusiaan dan keperluan militer. Bahwa satu-satunya objek yang paling sah dicapai oleh suatu Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan.
Pada Abad ke
18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya the social Contract mengajarka bahwa
perang harus berlandaskan pada moral. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi
Hukum Humaniter Internasional.
Prinsip Hukum Humaniter
Hukum
humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan
penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Tidak seperti perangkat
hukum lainnya, hukum humaniter mempunyai sejarah yang belum cukup panjang namun
sangat signifikan. Tujuan Hukum Humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
adalah sebagai berikut:
1. untuk
melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu
permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari
kapal, tawanan perang, dan orang-orang sipil;
2. untuk
membatasi akibat kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan
terjadinya konflik tersebut
Pada dasarnya, masyarakat international mengakui bahwa peperangan antar Negara atau dalam suatu Negara dalam banyak kasus tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan. Akan tetapi, orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang.
Kelahiran hukum humaniter dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari ribuan prajurit Prancis dan Austria yang terluka setelah perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun 1859. Dalam buku yang ditulisnya, “Un Souvenir de Solferino”, Dunant menghimbau dua hal, pertama, agar dicipatkan suatu lembaga international yang khusus menangani orang-orang sakit dan terluka, apapun kebangsaan, agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di dunia dihimbau untuk membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga semacam ini, termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit dan luka lebih diperhatikan.
Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan sekedar menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga beraksi dengan mendirikan Inter-national Committee for Aid to the Wounded – yang kemudian diberi nama International Committee of the Red Cross. Komite ini pada akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara dan selanjutnya menghasilkan konvensi Jenewa yang pertama, yang diadopsi oleh 16 Negara Eropa pada tahun 1864, dan Konvensi ini dinamakan Convention for the Amelioration of Condition of the Wounded in Armies in the Field.
Tidak dapat diingkari bahwasanya konvensi ini menjadi simbol peletakkan batu pertama dari Hukum Humaniter Internasional, dengan mengutamakan prinsip-prinsip universalitas dan toleransi dalam hal ras, kebangsaan dan agama. Tragedi kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang Saudara di Spanyol (1936-1939) dan Perang Dunia Kedua (1939-1945), menggugah Liga Bangsa-Bangsa untuk melanjutkan penetapan sejumlah konvensi berikutnya. Konvensi Kedua, berkenaan dengan anggota tentara yang terluka, sakit, terdampar di lautan; Konvensi Ketiga tentang Tawanan Perang, dan Konvensi Keempat, tentang korban-korban masyarakat sipil. Kesemua konvensi ini mempunyai kesamaan, yakni adanya penetapan mengenai aturan minimum yang harus dipatuhi pada saat terjadinya konflik bersenjata secara internal.
Dari uraian di atas, nampak bahwasanya konflik bersenjata yang dimaksudkan dapat terjadi secara internal maupun inetrnasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orang-orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus “in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria…” padahal sebelum tahun 1949, perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer.
Perangkat internasional yang paling signifikan dalam konteks ini mencakup tiga golongan besar, yakni:
1. Law of Geneva, yakni Konvensi-konvensi dan protokol-protokol Internasional yang ditetapkan di bawah lingkup Komite Palang Merah Intersional atau ICRC, di mana perlindungan bagi korban konflik menjadi perhatian utama:
2.
Law of the Hague, ketentuan ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang
diselenggarakan di Ibukota Belanda pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya
menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan;
3.
Upaya-upaya PBB untuk memastikan agar dalam situasi konflik bersenjata, HAM
tetap dihormati, dan sejumlah senjata dibatasi pemakaiannya
Protokol I dari konvensi Jenewa memberikan perlindungan bagi orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh, sedangkan Protokol II memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan korban konflik bersenjata internal (bukan inter-national). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa beserta dengan 185 Negara lainnya (menurut data tahun 1977). Konvensi Jenewa ini diterapkan melalui kerjasama a Protecting Power, atau Negara ketiga yang menjadi pihak netral dalam konflik tersebut, di bawah pengawasan ICRC.
Dalam Geneva
Convention III, tahun 1949, pasal 3 ayat (1) dicantumkan bahwa:
“…Person taking no active part in the hostilities shall in all circum stance be treated humanely without any adverse distinctions…..”
Angkatan bersenjata dan kepolisian dilarang untuk melakukan tindakan-tindakan di bawah ini terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut:
1. Kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa
2. Menyandera orang
3. Melakukan tindakan yang melecehkan martabat, menghina dan
merendahkan orang
4.
Menjatuhkan dan melaksanakan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin
hak-hak seseorang.
Dalam pasal 4 Protocol II to The Geneva Convention, 1977 dirumuskan bahwa:
All persons who do not take part or have ceased to take part in hostilities whether or not their liberty has been restricted, are entitled to respect to their persons, honors, and conviction and religious practices, to be treated humanely without any adverse distinction.
Perilaku yang dilarang terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut mencakup:
· Melakukan kekerasan terhadap nyawa, kesehatan dan kesejahteraan mental maupun jasmani orang Collective Punishmen
· Menyandera orang
· Melakukan terorisme
· Melecehkan harkat dan
martabat seseorang terutama perilaku yang merendahkan dan menghina, perkosaan,
pemaksaan prostitusi, dan semua bentuk serangan terhadap kesusilaan.
· Melakukan perbudakan dan perdagangan budak dalam segala
bentuknya
· Melakukan penjarahan
· Mengancam untuk melakukan perilaku-perilaku di atas.
Salah satu prinsip yang menjadi landasan utama hukum perang adalah pembagian
penduduk ( warga Negara ) Negara yang sedang berperang atau yang sedang
terlibat dalam konflik bersenjata ( armed conflict ) dalam dua ketegori, yaitu
Kombatan ( Combatant ) dan penduduk sipil ( Civilian ). Kombatan adalah
golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan ( hostilities
), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta
dalam permusuhan.
Salah satu alasan perlunya pembedaan demikian adalah untuk mengetahui mereka
yang boleh turut serta dalam permusuhan , sehingga boleh dijadikan sasaran atau
objek kekerasan, dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan
sehingga tidak boleh dijadikan objek kekerasan. Penduduk sipil yan tidak
turut serta dalam permusuhan tersebut , harus dilindungi dari tindakan
peperangan itu.
Prinsip tersebut adalah Prinsip atau asas Pembedaan (‘Distintion Prinsiple’) merupakan
suatu asas penting dalam Hukum Humaniter. Menurut Jean Pictet, prinsip
pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione
personae.
Makalah ini akan membahas secara umum mengenai Distinction Principle ini.
Diketahui bahwa pada saat terjadi peperangan maka disana juga masih terdapat
hukum – hokum yang seharusnya diberlakukan hukum tersebut adalah hokum perang.
Hukum perang merupakan bagian dari hukum Internasional. Sampai dengan sekarang,
dengan disetujuinya protocol – protocol tambahan 1977, hukum perang mencangkup
kurang lebih enam ratus artikel.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan dari latar belakang sebagaimana diurakan pada bagian latar
belakang, maka masalah – masalah yang menjadi landasan analisis
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Apa
tujuan adanya Distinction Principle dalam hukum Internasional ?
2.
Apa
akibat hukumnya apabila Distinction Principle tersebut dilanggar oleh para
pihak yang berperang ?
BAB II
PEMBAHASAN
I.
TUJUAN
ADANYA DISTINCTION PRINCIPLE
Prinsip atau
asas Pebedaaan (Distintion Principle) merupakan suatu asas penting dala Hukum
Hmaniter Internasional. Prinsip ini membedakan penduduk dari suatu Negara yang
sedang berperang dalam dua golongan yaitu; Kombatan (Combatant) dan Penduduk
Sipil (Civilian).
Menurut Mochtar Kusumahadmadja, fungsi diadakannya Distinction Principle adalah :
1.
Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun
penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu.
2.
Menjamin
Hak Asasi Manusia Yang sangat fundamental bagi Mereka yang jatuh ke tangan
musuh
3.
Mencegah
dilakukanya perang Kejam tanpa mengenal batas disini yang terpenting adalah
Asas prikemanusiaan
Tujuan
Distinnction Principle dalam Hukum Internasional adalah untuk melindungi semua
peserta perang yaitu Combatan ( angkatan perang ) dan penduduk sipil. Hukum
tersebut membatasi atas dasar kemanusiaan hak – hak pihak yang terlibat
pertikaian untuk menggunaan beberapa senjata dan metode berperang tertentu,
serrta member perlindungan kepada korban maupun harta beda yang terkena akibat
pertikaian bersenjata
Menurut Jean
Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas
pembatasan ratione personae. Yang menyatakan, ‘the civilian population and
individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from
military operation’. Asas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauhke dalam
sejulah asas pelaksanaan (principles of application), yakni:
a.
Pihak
– pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan
penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek – objek sipil.
b.
Penduduk
sipil, demikia pula orang sipil secara perorangan, tidak bolah dijadia objek
serangan (walaupun) dalam hal reprisals ( pembalasan ).
c.
Tindakan
maupun ancaman kekerasan yang tujua utamanya untuk menyebarkan teror terhadap
penduduk sipil adalah dilarang.
d.
Pihak
– pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahanyang memungkinkan
untuk menyelamatka penduduk sipil atau setidak – tidaknya , untuk menekan
kerugian atau kerusakan yag tak disengaja menjadi sekecil mungkin.
e.
Hanya
anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.
II.
AKIBAT
HUKUM ADANYA PELANGGARAN TERHADAP DISTINCTION PRINCIPLE
Hukum Perang
adalah salah satu bagian dari hukum Internasional. Diketahui pula bahwa salah
satu kelemahan yag cukup mencolok dari hukum Internasioal adalah bahwa seoah –
olah tidak ada sanksi . Seorang ahli menyataka International Law is a system
without sanction.(J.G. Starke, 1977:30).
Sanksi
yang dikenakan apabila hukum perang dilaggar ditujukan kepada ketentuan tentang
“penal sanctions” yag terdapat dalam Konvensi Jenewa tahun 1949.
Lauterpacht
dalam membahas sarana yang dapat dipakai untuk menjaminberlangsungnya suatu “legitimasi
welfare“ membagi sarana tersebut dalam 3 kelompok (classes), yaitu :
a.
Measures
of selfhelp, seperti reprisal, penghukuman prajurit yang melaksanakan kejahatan
perang, penyanderaan;
b.
Protes
( complaints ) yang disampaikan kepada musuh, atau kepada Negara netral, jasa
baik – baik, mediasi dari Negara netral;
c.
Kompensas
(Lauterpacht, 1955:577-578)
Sekarang
diuraikan lebih mendalam beberapa measures tersebut diatas, yaitu sebagai
berikut :
1.
Protes
( Complaint )
Apabila terjadi pelanggaran yag
cukup berat, pihak yag dirugikandapat mengajukan complaint melalui suatu Negara
netral dengan maksud:
a.
Agar
Negara netral tersebut dapat memberikan jasa – jasa baiknya atau dapat
melakukan mediasi.
b.
Sekadar
menyampaikan facts atau pelanggaran untuk diketahui
c.
Untuk
mempegaruhi pendapat umum.
2.
Penyanderaan
( Hostages )
Penyandearaan
merupakan suatu upaya unutk menjamin berlangsungnya suatu legitimasi warfare
sering dilakukan padamasa yang lampau. Dalam perang Prancis Jerman tahun
1870. Orang – orang terkemuka pada suatu wilayah yang diduduki ditangkap
dan ditahan dengan masud agar penduduk wilayah tersebut tidak akan melakukan perbuatan
– perbuatan yang bersifat permusuhan.
Dengan
adanya Konvensi Jenewa 1949, semua bentuk peyanderaan dilarang. Artikel 3 (1)
dari Konvensi I berbunyi sebagai berikut:
Untuk maksud
ini, maka tindakan – tindaka berikut dilarang dan tetep aka dilarang untuk
dilakukan tehadap orang – orang tersebut diatas pada waktu dan tempat apaapun
juga (a) tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam
pembunuhan, pengudungan (multilation), perlakuan kejam dan penganiayaan; (b)
penyanderaan da seterusnya.
3.
Pembayaran
Kompensasi
Ketetuan
mengenai Konpensasi ini dapat ditemukan dalam Hague Convention IV tahun 1907,
artikel 3, yang berbunyi sebagai berikut.
Artikel 3
ini mencangkup dua macam ketentuan yaitu:
a.
Bahwa
pihak berperang yang melagar Hague regulation harus membayar konpensasi;
b.
Bahwa
pihak berperang bertaggaung jawab aamua perbuatan yang dilakuka oleh anggota
–angota angkatan bersenjatanya.
4.
Reprisal
Reprisal
merupakan tindakan yang melanggar hukum dan tindakan tersebut dilakukan dengan
maksud agar pihak – pihak yang melanggar hukum perag meghentikan perbuatannya
dan juga untuk memaksa ia agar dikemudian hari menaati hukum tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar