Total Tayangan Halaman

Sabtu, 30 Maret 2013

Kelas-Kelas Sosial dan Perjuangan Kelas



Kelas-Kelas Sosial dan Perjuangan Kelas
*
Apakah yang disebut Kelas sosial itu? Mengapa terdapat Kelas-Kelas dalam perkembangan masyarakat? Dimana kedudukan hubungan antar Kelas dalam kehidupan sosial kita? Jawaban yang tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membawa kita pada pemahaman terhadap hakekat fenomena sosial penting di jaman modern, seperti Negara, relasi-relasi politik dan kehidupan ideologis. Pendekatan Kelas, melihat bahwa kehidupan masyarakat itu terbagi ke dalam Kelas-Kelas. Itulah salah satu prinsip metodologi Marxisme yang paling mendasar. Dalam rangka menerangkan arti penting dari prinsip ini, Lenin menulis: ‘ orang-orang selalu menjadi korban tipu muslihat atau
sering menipu diri sendiri dalam kehidupan politik dan mereka akan terus bersikap demikian hingga akhirnya mereka berhasil mengetahui kepentigan-kepentingan Kelas dibalik tabir tentang moral, agama, sosial politik,  dan janji-janji’.
I. Konsep Kelas Sosial
Kelas sosial merupakan pengelompokan-pengelompokan yang ada di dalam masyarakat. Namun di samping pengelompokan Kelas, masyarakat pun terbagi ke dalam pengelompokan pengelompokan lain. Pengelompokan-pengelompokan itu misalnya,  pengelompokan yang berdasar jenis kelamin, ras, kebangsaan, pekerjaan dan sebagainya. Beberapa pembagian tersebut ada yang berdasar pada penggolongan fisik (usia, jenis kelamin, ras), selain penggolongan yang bersifat sosial (kebangsaan, pekerjaan). Perbedaan-perbedaan dari segi politik tidak dengan sendirinya menyebabkan perbedaan-perbedaan sosial, dan hanya di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu saja maka hal perbedaan itu bisa dikaitkan dengan ketimpangan sosial. Dengan demikian, ketimpangan yang berbasis ras sesungguhnya lebih bersifat historis daripada yang bersifat alami. Pengelompokan-pengelompokan rasial sendiri sebenarnya adalah katagori sosial dan bukannya katagori biologis. Pengelompokan berdasarkan ras muncul dari praktik sosial kapitalisme yang memuja-muja perbedaan fisik manusia (biasanya merupakan perbedaan warna kulit) yang menganggap bahwa unggul dan rendahnya nilai-nilai sosial itu berasal dari perbedaan-perbedaan fisik itu. Akibatnya kemudian muncul pembenaran adanya ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin, ia lebih disebabkan oleh fakta-fakta historis ketimbang fakta-fakta alam. Pada tahap awal perkembangan sejarah, yakni selama sistem komunal primitif, kaum perempuan memainkan peranan memimpin di tengah masyarakat. Namun peran kepemimpinan itu lambat laun pudar seiring dengan terbagi-baginya masyarakat ke dalam unit-unit keluarga yang dipisahkan satu sama lain berdasarkan pemilikan pribadi.
Secara umum pembagian-pembagian Kelas tak ada hubungannya dengan perbedaan-perbedaan yang bersifat alamiah: pembagian Kelas itu bisa terjadi dalam jenis ras yang sama, kelompok-kelompok etnis yang sama dan menerobos garis usia dan jenis kelamin.
Sejumlah sosiolog borjuis mencoba mencari sebab-sebab pembagian Kelas tersebut melalui faktor politik, yakni dilihat dari adanya penundukan secara paksa sekelompok orang oleh kelompok orang lain. Tentu saja peralihan dari masyarakat tanpa Kelas menjadi masyarakat berKelas terjadi dengan pemaksaan. Akan tetapi pemaksaan hanyalah faktor yang mempercepat dan mempertajam ketimpangan sosial; pemaksaan bukanlah yang menjadi sebab utamanya. Kekerasan bukanlah penjelas dari adanya asal-usul Kelas seperti perampasan yang merupakan sebab dari asal-usul dari pemilikan pribadi terhadap alat-alat produksi. Perampasan bisa jadi berakibat pada berpindahnya pemilikan pribadi alat-alat produksi dari satu orang ke pemilikan pribadi oleh orang lain, namun perampasan itu sendiri tidaklah melahirkan (sebab awal) adanya pemilikan pribadi.
Terbaginya masyarakat ke dalam Kelas disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, sebagai contoh yang  terjadi di Mesir Kuno atau Yunani Kuno, dimana tidak terjadi adanya penaklukan-penaklukan, yang menjadi penyebabnya pembagian kerja dalam masyarakat. Pembagian kerja ini mengasumsikan adanya pemisahan para produsen yang terlibat di dalam berbagai bentuk aktifitas produksi dan adanya pertukaran antar produksi yang dihasilkan oleh kerja mereka. Pertama-tama, terjadinya pemisahan antara kerja bertani dan kerja beternak, kemudian pekerjaan kerajinan tangan terpisah dari kerja pertanian, dan akhirnya muncul usaha jasa (seperti: manajemen, pencatatan, administrasi publik) dipisahkan dari kerja manual. Pembagian kerja secara sosial dan pertukaran antar surplus hasil produksi inilah yang menyebabkan terjadinya pemilikan pribadi terhadap alat-alat produksi, hal inilah yang mengantikan pemilikan alat-alat produksi secara komunal dan memunculkan pengelompokan-pengelompokan sosial yang tidak setara dalam proses produksi sosial yaitu: Kelas. Masyarakat kemudian terbagi menjadi golongan kaya dan miskin, penghisap dan terhisap dan ketimpangan pun merajalela, sebagaimana yang ditulis oleh Engels: ‘Kelas-Kelas dalam masyarakat selalu merupakan produk dari corak produksi dan pertukaran, yaitu produk dari kondisi ekonomi pada jamannya'.
Kelas-Kelas terbentuk melalui dua cara. Pertama, melalui kemunculan perkampungan komunal pada masa neolitik yang terdapat di lembah sungai Tigris dan Eufrat di Irak Selatan dan di lembah sungai Nil, Mesir. Pengelompokan itu terdiri dari kaum spesialis yang mengembangkan dan memonopoli pengetahuan serta ketrampilan yang sangat dibutuhkan bagi pengorganisiran pembangunan proyek-proyek raksasa.
            Pertanian di lembah-lembah sungai ini amat bergantung pada proyek-proyek irigasi raksasa yang pengerjaannya membutuhkan kerja gotong royong, yang melibatkan banyak perkampungan di lembah sungai. Di Mesir, air didapat dari banjir tahunan sungai Nil. Namun, guna beroleh air yang cukup diperlukan pembangunan dan perawatan sejumlah besar bendungan. Selanjutnya air akan disalurkan secara reguler untuk menyirami tanaman. Di Irak Selatan (Sumeria), banjir tahunan dari sungai Tigris dan Eufrat tak mencukupi, dan jumlah air yang memadai untuk mengairi lahan pertanian hanya bisa didapat melalui pembangunan dan pemeliharaan jaringan kanal yang ekstensif. Pengerjaan proyek irigasi ini memerlukan banyak tenaga kerja dari seluruh penduduk di banyak perkampungan, menguras pengetahuan dan pengorganisiran wewenang. Namun, begitu golongan organisator dan administrator mengelompokan diri dalam kelompok-kelompok solid yang tinggal di perkotaan (biasanya tinggal di sekitar kuil pemujaan), maka upeti pun mulai ditarik dari penduduk kampung secara paksa. Dengan demikian masyarakat pun terbelah menjadi Kelas petani-tukang yang terhisap dan Kelas pejabat-pemuka agama yang menghisap. Kelas penghisap ini dikepalai oleh seorang raja-pemuka agama yang dengan dalih perwakilan dewa di bumi, kemudian menegakkan pemilikan tanah secara pribadi. Hal itu lalu menjadi pola umum yang timbul dari masyarakat ber-Kelas pada tahap awal. Pola ini lahir dari corak produksi Asiatic yang muncul di Sumeria dan Mesir Kuno sekitar 5.500 tahun yang lalu.      
            Cara yang lain dalam proses pembentukan Kelas-Kelas adalah melalui proses pembudakan anggota-anggota kelompok lain yang ditaklukan melalui pertempuran atau pembudakan terhadap anggota-anggota kelompok sendiri yang selama ini terjerat hutang. Inilah pola umum munculnya masyarakat kepemilikan budak. Awalnya tumbuh di Yunani Kuno dan kemudian di Romawi Kuno pada 1000 tahun sebelum Masehi.
            Dalam rangka merangkum pengalaman perkembangan Kelas-Kelas untuk pertama kalinya Marxisme menyumbangkan penjelasan yang otentik ilmiah terhadap esensi Kelas, alasan-alasan kemunculan Kelas dan cara melenyapkannya. Karl Marx menghubungkan keberadaan Kelas-Kelas tersebut dengan fase historis perkembangan produksi sosial, sementara para ilmuan sosial borjuis selalu mengabaikan hal tersebut. Mereka beranggapan bahwa Kelas merupakan fenomena a-historis yang sudah beda dari dulu hingga sekarang (selalu ada yang kaya dan yang miskin di tengah-tengah masyarakat). Marx membuktikan bahwa masyarakat ber-Kelas, wataknya sementara dan menunjukkan syarat-syarat lenyapnya masyarakat ber-Kelas, yang akan digantikan oleh masyarakat tanpa Kelas. Marx menunjukan bahwa masyarakat Kapitalis adalah tahapan terakhir keberadaan Kelas-Kelas yang antagonistik dalam sejarah umat manusia. Marx menekankan bahwa jalan menuju masyarakat tanpa kelas terbentang melalui perjuangan Kelas proletariat yang menentang segala bentuk penindasan untuk menegakan kekuasaannya di masyarakat. Dalam surat yang dilayangkan kepada Joseph Weydemeyer di New York, bulan Maret 1852, Marx menuliskan bahwa:
            ‘bukanlah saya yang menemukan keberadaan Kelas-kelas dalam masyarakat modern dan pertentangan antar mereka. Jauh sebelum saya, para sejarawan borjuis telah membeberkan perkembangan historis perjuangan Kelas ini. Begitu juga para ekonom borjuis yang telah menguraikan anatomi ekonomi keberadaan kelas-Kelas tersebut. Yang saya lakukan hanyalah membuktikan: 1) bahwa keberadaan Kelas-Kelas hanya terkait dengan fase-fase historis perkembangan produksi, 2) bahwa perjuangan Kelas mau tak mau mangarah pada kediktatoran proletariat, 3) bahwa kediktatoran ini sendiri hanyalah merupakan bentuk transisi/peralihan menuju penghapusan seluruh Kelas dan menuju pembentukan masyarakat tanpa Kelas ...’.
            Lebih lanjut Lenin mengembangkan teori-teori kelasnya Marx dan mendefinisikan Kelas sebagai: ‘segolongan besar masyarakat yang dibedakan dengan segolongan masyarakat lainnya melalui posisi mereka secara historis dalam sistem produksi sosial, oleh relasi mereka (yang dalam banyak kasus dilegitimasikan oleh hukum) dengan alat-alat produksi, oleh peran mereka dalam organisasi kerja secara sosial, dan konsekuensinya, adalah dimensi hilangnya kemampuan untuk mendapatkan jatah kekayaan sosial dan cara untuk memperolehnya. Kelas-Kelas adalah kelompok-kelompok masyarakat yang berkemampuan untuk merampas kerja kelompok lainnya berdasarkan perbedaan posisi di tengah sistem sosial ekonomi tertentu’.
            Mari kita mengkaji definisi itu secara lebih terinci. Menurut Lenin, Kelas adalah kelompok-kelompok masyarakat yang terutama dibedakan satu sama lain oleh posisi mereka yang secara historis ditentukan di tengah-tengah sistem produksi. Artinya, bahwa setiap Kelas harus dikaitkan dengan corak produksi yang melahirkannya, dan untuk itu tiap-tiap corak produksi yang antagonistik melahirkan masyarakat di mana garis pembagian masyarakatnya bersifat Kelas (sebagai contoh pembagian Kelas yang muncul adalah antara bangsawan pemilik tanah dengan petani pembayar upeti, pemilik budak dengan budak, tuan feodal dengan kaum hamba, kapitalis dengan kaum proletar).
            Di dalam sebuah sistem produksi, Kelas-Kelas menempati posisi yang berbeda dan saling bertentangan satu sama lain. Posisi ini ditentukan oleh relasi mereka terhadap alat-alat produksi. Relasi produksi di tengah masyarakat berkelas adalah relasi penghisapan, dominasi dan penundukan. Ini disebabkan karena Kelas yang berkuasa memonopoli alat-alat produksi yang menentukan, yaitu memilikii alat produksi yang paling penting. Jika satu lapisan masyarakat memonopoli alat-alat produksi maka para pekerja, selain bekerja untuk mepertahankan hidup, mereka juga menghabiskan waktu kerja mereka untuk menghasilkan surplus untuk pemilik alat-alat produksi.
            Relasi Kelas-Kelas terhadap alat-alat produksi juga tergantung pada peran mereka dalam organisasi kerja secara sosial.  Kelas-Kelas menjalankan fungsi yang beragam dalam produksi sosial. Dalam masyarakat ber-Kelas, ada yang mengatur produksi, mengontrol ekonomi dan seluruh urusan sosial serta terlibat secara dominan dalam kerja mental. Sementara Kelas yang lain menanggung beban menjalankan kewajiban pekerjaan fisik yang berat.
            Begitu sistem produksi sosial dan seluruh kehidupan masyarakat tumbuh semakin kompleks, maka pengembangan fungsi kontrol semakin dibutuhkan. Contohnya, pada masyarakat agraris di Mesir, Irak, Cina dan India Kuno. Proyek irigasi bersekala besar semakin menuntut spesialisasi pengetahuan dan pengorganisiran kerja yang terpusat. Ini berbeda dengan kerja pertanian yang berskala kecil dan individual atau proyek pertanian komunal yang sederhana. Kita tak bisa membayangkan jika produksi yang berskala besar yang menggunakan mesin tidak ditopang oleh aktifitas yang terorganisir rapih dan manajemen produksi di segala bidang. Dalam masyarakat ber-Kelas, manajemen produksi sosial biasanya di bawah kendali Kelas yang memilikii alat produksi. Marx mengungkapkan:
            Seseorang tidak berarti menjadi kapitalis karena dia seorang pimpinan sebuah industri; yang terjadi justru sebaliknya, dia pimpinan industri karena dia seorang kapitalis. Kepemimpinan dalam bidang perindustrian merupakan pelengkap bagi modal (Kapital), sebagaimana fungsi yang dijalankan oleh seorang Jendral dan Hakim, yang tak lain merupakan pelengkap bagi sistem kepemilikan tanah pada masa feodal.
            Saat relasi-relasi produksi tertentu mulai menghalangi perkembangan kekuatan-kekuatan produksi, peran Kelas yang berkuasa di dalam organisasi kerja secara sosial mengalami perubahan. Kelas tersebut mulai kehilangan fungsinya dalam mengorganisasi produksi dan lantas merosot menjadi parasit yang melekat pada tubuh masyarakat. Perkembangan ini menimpa Kelas pemilik budak dan kaum aristokrat feodal pada masanya masing-masing, dan hal yang sama juga menimpa kalangan borjuis besar (Kelas inipun akhirnya melepaskan fungsi pengorganisiran kerja secara sosialnya pada kalangan manajer yang digaji, supervisor dan bahkan kepada regu-regu pekerja).
            Kelas-Kelas juga dibedakan satu dengan yang lainnya menurut ukuran (besarnya) dan sumber pendapatan (income) sosial mereka. Perbedaan ukuran dan sumber income sosial ini tidak diragukan lagi memilikii arti yang demikian pentingnya, kendati hal tersebut bukanlah faktor yang terutama. Dengan mudah kita bisa memahami hal ini jika kita menanyakan diri kita dengan pertanyaan: Mengapa ada berbagai sumber pendapatan (income), yang menjadi syarat-syarat keberadaan Kelas-kelas? Jawabannya terletak pada posisi mereka di tengah-tengah sistem produksi sosial. Marx menyatakan bahwa, secara sekilas, Kelas itu terdiri dari sejumlah orang yang memiliki sumber pendapatan yang sama. Namun hal tersebut tidak menukik pada apa yang sesungguhnya menjadi dasar keberadaan Kelas-Kelas. Fakta menunjukkan bahwa relasi-relasi yang paling utama dan menentukan justru adanya bentuk distribusi yang bergantung pada relasi produksi. Jika hanya menghitung sumber dan ukuran pendapatan, kita tidak bisa mendefinisikan Kelas-Kelas dengan pengelompokan-pengelompokkan dan strata-strata sosial lainnya yang keberadaannya juga ditentukan oleh berbagai sumber pendapatan. Sebagai contoh, dalam sistem kapitalisme, para buruh yang melakukan pekerjaan yang sama menerima upah melalui sumber pendapatan yang berbeda-beda, sementara yang lainnya mendapatkan upahnya dari negara. Para pekerja yang trampil dibayar lebih tinggi daripada buruh yang tak punya ketrampilan khusus. Tetapi apakah dengan demikian memberi alasan untuk menganggap Kelas mereka berbeda?
            Pembagian Kelas membelah kehidupan sosial dari atas sampai bawah, mempengaruhi seluruh sistem sosial. Relasi-relasi ini dibagi menjadi relasi-relasi yang bersifat material dan ideologis. Tetapi pertanyaannya sekarang adalah: relasi-relasi  macam apakah yang ada di antara Kelas-Kelas? Bersifat material- kah atau ideologis? Jawabannya: bersifat kedua-duanya. Keberadaan Kelas-Kelas dikaitkan dengan relasi-relasi ekonomi tertentu yang memungkinkan Kelas-Kelas penghisap merampas kerja Kelas terhisap. Totalitas dari seluruh relasi inilah yang membentuk struktur Kelas dalam masyarakat, dan menyediakan basis bagi perjuangan Kelas. Namun, relasi-relasi antar Kelas ini tak terbatas di bidang ekonomi semata, relasi-relasi ini paling menunjukan ekspresinya (perwujudannya) terutama dalam kehidupan politik. Pada akhirnya relasi-relasi antar Kelas perjuangan Kelas dipaparkan secara gamblang dalam level ideologi, dalam kehidupan intelektual masyarakat. Persis sebagaimana dikatakan oleh para peletak dasar Marxisme, bahwa pertentangan antara proletariat dan borjuasi, yang berurat berakar pada relasi-relasi produksi kapitalisme, kemudian mempengaruhi seluruh kehidupan sosial, kondisi-kondisi yang melingkupi keberadaan Kelas-Kelas, relasi-relasi antar kalangan mereka sendiri dan itu juga menyebabkan para buruh memiliki gagasan-gagasan, ide-ide, prinsip-prinsip moralitas dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang berbeda dengan borjuasi. Perbedaan-perbedaan itulah yang menggambarkan posisi anggota-anggota Kelas dalam kehidupan sehari-hari, dalam pendidikan dan kulturnya, gagasan-gagasan, keyakinan-keyakinan, psikolog sosial mereka dan sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan turunan dari relasi-relasi ekonomi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar